Gerbong Kereta
Kalau di posisi kayak gini, suka berharap tiba-tiba disamperin dan disapa seseorang “Hai, Rasta ya?“ dan ternyata kita saling kenal. Suara pengumuman dan kereta yang saut menyaut bergantian gak lagi jadi backsound yang menyedihkan karena gue dan dia hanyut dalam percakapan. Hahaha. Tapi, cuma bayang-bayang! Mungkin suatu saat? Siapa yang tahu..
Ya! Gue lagi di Frankfurt Hauptbahnhof (Stasiun Utama di Kota Frankfurt). Melipir sebentar, di setiap kota di Jerman itu ada sebuah tempat bernama Hauptbahnhof. Haupt : utama, Bahnhof: Stasiun. Stasiun utama, yang biasanya menjadi tempat pemberhentian untuk perjalanan jauh atau luar kota, bahkan lintas negara. Baru kemarin siang sampai Frankfurt , tapi hari ini sudah harus balik ke Kassel karena besok ada yang harus gue lakukan. Pergi ke Frankfurt pun untuk sebuah urusan, bukan jalan-jalan. Jadi yaa begitu lah wkwk maaf kalau gak paham tapi pura-pura paham aja, okay.
Satu bulan lebih gue gak nulis.. cukup kangen, jadi mari kita ukir dan lihat apa yang hari ini tercipta! Hari ke 16 Ramadhan, bagaimana kabarnya? Semoga segala sesuatunya dilancarkan, terutama ibadah bulan ramadhannya. Oh iya, waktu di sini 16 Ramadhan, di sana masih hari ke-15 sih, karena di sini kebanyakan mulai per tanggal 2 April. Ramadhan di sini juga gak se-berat itu ternyata. Subuh jam 4, Maghrib jam 8 malam. Awalnya gue ragu dan tidak menyanggupi sih, 16 jam puasa?!?! tapi ternyata waktu dijalani mampu-mampu saja.
Sejak 20 menit yang lalu, seorang perempuan berumur duduk di samping gue, bawa anjing besar berbulu putih bersih. Jujur gue takut! wkwk, tapi males pindah jadi yasudah, lanjut nulis aja.. Tidak lama kemudian datang ibu dan 3 anaknya. Satu bayi perempuan dan 2 anak cowo kecil, gue tebak sekitar 7-9 tahun gitu. Ibu nya bilang dia harus pergi dulu dan meminta anak-anak nya untuk stay di sini. Mereka yang asik main game cuma jawab “ya, mama!”. Ibunya pun pergi membawa trolly bayi. “Was soll ich machen!?” tanya satu anak kepada saudaranya. “Bleib da!” “Ich brauche die Pistole!” “Nein, nein, nein!” Mereka semakin heboh dan hanyut dalam permainan seolah stasiun seisinya adalah ruang tempur mereka. Gue yang benar-benar duduk di antara mereka pasrah. Ya sudah, nikmatin saja. toh hitung-hitung latihan listening, ya gak, wkwk.
Balik lagi ke topik Ramadhan kita, menjadi minoritas ternyata bukan sebuah alasan untuk merubah diri kita untuk ‘masuk‘ ke dalam mayoritas, tetapi menjadi minoritas bisa menjadi sebuah pembuktian ke pada diri sendiri, bahwa kita benar-benar yakin dengan apa yang kita yakini. Terkadang dan kemungkinan akan selalu ada kesulitan untuk gue-dan muslim lainnya hidup di negara yang tidak berlandasan Agama Islam, terlebih mayoritas penduduknya non-Islam. Baik secara pakaian, makanan, dan budaya. Tetapi sejauh dan selama gue hidup di sini yang baru seumur jagung (gak jagung banget sih sebenernya, tapi ya udah biar, hahah) aman-aman saja, selama yaa.. kita berusaha mengontrol diri kita sendiri dengan baik. Bahkan terkadang, gue merasa haru dan bangga sama diri sendiri karena mampu bertahan sejauh ini (lah malah sombong, hehe✌️). Gak sedikit pun kejadian-kejadian yang sebenarnya sederhana tapi amat sangat gue syukuri di sini.
Kalau gue kerja dan kebetulan di saat jam buka puasa, manager memberi ta’jil dan waktu kepada yang berpuasa untuk makan secepatnya setelah jam buka. Bahkan waktu itu sempat sebelum buka puasa gue sudah istirahat (jatah istirahat 1x30 menit setiap kerja). Tapi karena gue puasa, dikasih waktu lagi untuk makan. Waktu itu gue sempat menolak karena toh sudah membatalkan dan kerja nya sebentar lagi selesai, tapi managernya malah maksa gue makan, wkwk.
“Damen und Herren, ICE 5670…“ Suara pengumuman mengalihkan pikiran gue dan menyadarkan bahwa gue harus beranjak untuk segera naik ke kereta. Sembari gue bersiap, ternyata ibu dari tiga anak tadi sudah kembali. Dia juga ikut bersiap-siap untuk naik kereta, dua anak laki-lakinya? Tentu saja masih asyik dengan game nya. Kita naik ke kereta yang sama, nenek yang membawa anjing tadi pun ikut naik kereta yang sama. Tapi kita semua terpisahkan oleh gerbong kereta.
Saat gue duduk di kursi kereta, gue sadar ada sesuatu yang berbeda, rasanya kursi keretanya lebih eksklusif “Ohh mungkin sekarang sudah upgrade keretanya.” pikir gue. Terlepas dari itu, mata gue tertuju kepada seorang kakek yang datang sendirian, membawa koper besar, duduk di sebrang samping. Dia berkali-kali menoleh ke arah gue, ternyata anaknya (kayaknya sih begitu) menunggu di luar, tepat samping kaca jendela gue. Sepertinya ia akan melakukan perjalanan jauh, anaknya berkali-kali dadah, melambaikan tangan, ia pun berkali-kali membalas sambutan perpisahan itu dengan harapan semua akan baik-baik saja. Kereta mulai melaju, perpisahan mereka berakhir dan gue sadar kalo gue salah gerbong! WKWK.
Gue buru-buru pindah gerbong karena benar adanya gerbong tadi untuk 1. Klasse (erste Klasse)-yaa semacam gerbong eksekutif kalau di Indonesia. Sama seperti di Indonesia, gerbong eksekutif dan ekonomi dipisahkan oleh restauran kereta. Sedihnya gerbong eksekutif yang gue dudukin tadi tepat di ujung kereta. Apesnya lagi, karena gue gak booking tempat duduk, gue cuma bisa duduk di tempat yang gak di-booking orang lain, tapii semua tempat yang gue lewatin di gerbong ekonomi terisi penuh sampai akhirnya di ujung gerbong ekonomi tersisa satu tempat. :) (Alhamdulillah masih bisa duduk untuk lanjutin tulisan ini.)
Well, buat lo yang sedang menjadi minoritas (khususnya dalam kebaikan), tetap bertahan! Karena menjadi minoritas bukan sebuah alasan, tapi kebanggaan. Allahua’lam.
Semoga tulisan kali ini memberi manfaat yaa, meskipun lebih banyak cerita tentang hari ini, wkwkw. Gue ngantuk. Tapi tulisan ini gak akan langsung terbit karena harus gue edit dulu. Sampai jumpa!
Ditulis : 17 April 2022.
Terbit : bisa kalian lihat sendiri. Hehe.
masyaaAah. cerita di kerjaan dong, hehe
ReplyDeleteMemories written permanently and people often hold on tight into it because it won't never change.
ReplyDeleteYou've became a person that you always wanted to be.
I'm proud of what you've become!